Kasus video viral mobil ambulance pembawa pasien kecelakaan yang (tak sengaja) terhadang mobil plat merah beberapa pekan lalu menarik dikupas. Video itu diunggah oleh sebuah akun media sosial Jumat malam (29/10) sekitar jam 22.00 WIB, tidak lama dari waktu kejadian. Spontan video itu jadi santapan netizen dan viral. Komentar pun banjir. Suara sumbang lagi nyinyir menghiasi laman media sosial dan pemberitaan. Pemerintah tersudut, seolah-olah menjadi pihak yang paling bersalah dan harus bertanggung-jawab.
Beruntung klarifikasi cepat dilakukan pemerintah. Penjelasan melalui berita di portal website resmi dan pernyataan di media sosial pemerintah sedikit bisa meredam emosi masyarakat. Netizen mulai cooling down. Tapi kalau mau jujur, sesungguhnya pemerintah masih merasa babak belur.
Menurut G. Harrison (2005:11), peristiwa di atas bisa dikategorikan sebagai komunikasi krisis. Krisis di sini dimaknai sebagai suatu masa yang kritis berkaitan dengan suatu peristiwa yang kemungkinan pengaruhnya negatif terhadap organisasi. Karena itu, keputusan cepat dan tepat perlu dilakukan agar tidak mempengaruhi keseluruhan operasional organisasi.
Pengambilan keputusan pasti memerlukan pemrosesan informasi untuk meminimalkan akibat yang tidak diinginkan. Sebuah krisis cenderung menjadi sebuah situasi yang menghasilkan efek negatif yang memengaruhi organisasi dan publiknya, produknya, dan reputasinya (FearnBanks,2007; Mitroff, 2005 dalam Kriyantono 2015:198).
Alex Sabur dalam buku Ensiklopedi Komunikasi mempunyai sudut pandang yang menarik dari sisi teknis. Komunikasi krisis diartikan tindakan segera yang diambil oleh perusahaan atau organisasi untuk mempertahankan kredibilitas serta reputasi baiknya setelah situasi tertentu terjadi yang mungkin berdampak buruk pada perusahaan dan reputasi. Hal itu menjadi inti aktifitas tim komunikasi dan public relation (2014:408).
Ditambahkan Sabur, sering kegagalan perusahaan atau pemerintah berkomunikasi efektif pada krisis tertentu, dapat menyebabkan kehancuran yang tak terkira. Proses ini bercirikan kecepatan respon, melibatkan identifikasi masalah secara cepat, mengemukakan masalah dengan cara menyelesaikan masalah dan mengurangi resiko bagi reputasi perusahaan atau pemerintah, tanpa mengubah atau menutupi fakta bersangkutan.
Mendasarkan teori di atas, penulis berpendapat, menghadapi situasi komunikasi krisis, para pelaku komunikasi publik pemerintah perlu mengambil langkah tepat, cermat dan cepat dalam melakukan strategi komunikasi publik.
Langkah pertama, cermat mengumpulkan data. Langkah ini menekankan observasi secara mendalam guna mendapat data lapangan yang valid sebagai tahapan pertama guna menyusun narasi publik. Para pelaku komunikasi publik adalah konseptor pesan, bukan eksekutor di lapangan dengan segenap kewenangan tugas dan fungsi terkait kasus yang menyebabkan krisis. Mereka bisa menyusun pesan komunikasi krisis yang kuat, jika ditopang stakeholder atau jajaran yang juga siap bekerja sama. Maka para pelaku komunikasi publik harus mampu menjadi pendengar yang baik agar mampu menjadi komunikator yang efektif. Selanjutnya logika – logika yang disusun dalam narasi publik harus berbasis data dan fakta lapangan. Bukan asumsi-asumsi pribadi apalagi sikap apriori yang condong sekedar justifikasi pemerintah secara sepihak.
Langkah kedua, tepat menyusun narasi publik. Kepintaran memilih diksi dan menyusun narasi publik sebagai pesan utama yang ingin disampaikan menjadi kata kunci keberhasilan di mengatasi komunikasi krisis. Para pelaku komunikasi publik jangan salah memilih kata dan menyusun logika jawaban. Narasi itu harus bisa diterima lagika umum, bukan rekayasa-rekayasa yang jauh dari fakta yang sesungguhnya. Kalau narasi itu bertolak belakang dengan fakta, maka bisa menjadi blunder. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru pesan yang dikirim melalui komunikasi publik itu menjadi serangan balik bagi organisasi atau pemerintah itu sendiri. Pembelaan melalui klarifikasi itu boleh, tapi bukan bahasa pembenaran yang membabi buta, sekedar menjaga image dan pencitraan. Maka satu kata yang akan dipublis harus dipertimbangkan matang. Kesalahan-kesalahan dasar seperti penyebutan waktu, tempat, nama pelaku dan kronologis harus bisa disajikan secara rapi dan akurat. Pimpinan daerah pun harus berlatih bersabar agar tim komunikasi tidak gegabah menyusun narasi publik. Tahap ini titik krusialnya. Menyusun narasi publik yang tepat membutuh waktu dan ketelitian.
Langkah ketiga, respon yang cepat. Cepat di sini bukan asal komentar atau pendapat gegabah dari pejabat publik mengisi ruang kosong di media sosial atau pemberitaan media massa, ketika publik menunggu jawaban atau sikap pemerintah. Publik itu plural, khususnya warga netizen. Mereka tidak serta merta bisa dipilah secara hitam putih, kemudian dibuat dikotomi, ini teman atau itu lawan. Berbeda dengan pekerja jurnalistik. Mereka bekerja lebih terukur dan profesional karena diikat dalam kode etik jurnalistik serta hukum kaidah penyusunan berita. Maka agar narasi publik bisa disampaikan kepada masyarakat secara cepat dan bertanggung-jawab, penting bagi pemerintah menunjuk seorang pejabat juru bicara. Keberadaan juru bicara ini bisa menjadi wajah keterhadiran pemerintah di masa komunikasi krisis untuk mengklarifikasi masalah. Bukan dituntut untuk menyelesaikan masalah, karena itu bukan ranahnya.
Kondisi komunikasi krisis tidak dapat dihindari dan bukan mustahil terulang kembali. Dengan terus belajar dan mengkaji, diharapkan pemerintah tidak mengulang kesalahan yang sama dan jatuh untuk kali kedua ketika komunikasi krisis itu terjadi.
Penulis Joko Priyono S.Sos M.Si,
Kepala Seksi Komunikasi dan Diseminasi Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten
telah dibaca: 3587 kali